BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Takaran dan Timbangan
Takaran adalah alat yang digunakan
untuk
menakar.
Dalam
aktifitas
bisnis,
takaran (al-kail)
biasanya dipakai untuk mengukur satuan dasar ukuran isi barang cair, makanan dan berbagai keperluan lainnya.
Kata
lain yang sering juga dipakai untuk fungsi yang sama adalah literan Timbangan (al-wazn) dipakai untuk mengukur satuan berat. Timbangan adalah suatu macam alat ukur yang diberikan perhatian untuk benar-benar dipergunakan secara tepat dan benar dalam perspektif ekonomi syariah.
Mengurangi timbangan dan takaran adalah mengurangi
ukuran atau jumlah barang yang di timbang atau di takar. Misalnya ukuran gula 1
kg tetapi ukuran itu dikurangi. Tidakan seperti ini adalah tindakan curang yang
seharusnya dijauhi. Perbuatan ini adalah kebohongan kepada pembeli. Kejujuran
sangat ditekankan karena kejujuran kunci dari kebersihan hidup
kebohongan-kebohongan yang hanya akan menjerumuskan ke dalam neraka.
Perbuatan mengurangi takaran dan timbangan akan menghilangkan
kepercayaan dari orang lain. Ini sangat merugikan. karena ketika kepercayaan dari orang lain
sudah tidak ada, maka akan mendapatkan kesulitan, hidup haruslah bergandengan,
ketika orang tidak percaya lagi maka kita akan tersisih dan selalu di anggap
curang walaupun suatu ketika kita tidak curang. Untuk itulah Allah sangat
menekankan perbuatan jujur karena jujur akan selalu membawa pada
kebaikan-kebaikan.[1]
B. Ayat-Ayat yang Menjelaskan Takaran dan Timbangan
1.
QS
Al-Muthaffifin : 1-3
وَيْلُ لِّلْمُطًفِّفِيْنَ (١) اًلِّذِيْنَ اِذَا اكْتَالُواْ عَلَى الناسِ يَسْتَوفُوْنَ
(٢) وَاِذَا كَالُوْهُمْ أَوْوَزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَ (٣)
Artinya :
“Kecelakaan
besarlah bagi orang-orang yang curang, (Yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”.
a.
Asbabun
Nuzul QS Al-Muthaffifin
Diturunkan di Makkah sesudah surat Al
Ankabut terdiri atas 36 ayat. Sebagian ulama’ Alquran berkata: surat inilah
surat yang terakhir turun di Makkah, surat ini diturunkan mengenai keadaan penduduk
madinah. [2]
Imam An Nasai dan Ibnu Majah dengan
sanad yang shohih meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata “ketika nabi saw
baru saja tiba di Madinah, orang-orang di sana masih sangat terbiasa mengurangi
timbangan (dalam jual beli) allah lantas menurunkan ayat “celakalah bagi
orang-orang yang curang(dalam menakar dan menimbang)” setelah turun ayat ini,
mereka selalu menepati takaran dan timbangan. [3]
b.
Tafsiran QS
Al-Muthaffifin
Ayat
1:
azab dan kehinaan yang sangat di hari kiamat ditimpakan atas orang yang suka curang
dalam takaran dan timbangan, yang mengambil takaran yang mengambil sempurna
untuk diri mereka sendiri dan takaran yang kurang untuk orang lain.
Allah mengkhususkan ancaman ini kepada
golongan orang-orang yang curang dalam takaran dan timbangan adalah karena
pekerjaan ini tersebar di makkah dan di madinah.
Ada seorang laki laki bernama djuhainah,
dia mempunyai dua takaran, satu besar dan yang satu lagi kecil. Apabila dia
membeli dia memakai takaran yang besar dan apabila dia menjual dia memakai takaran
yang kecil.
Ayat2: orang-orang yang curang dalam takaran dan
timbangan ialah orang-orang yang apabila mereka yang menerima barang dari orang
lain. Mereka tidak mau menerima kalau tidak cukup sempurna, akan tetapi apabila
orang lain yang menerimanya maka merekapun berusaha agar timbanga dan takaran
itu tidak sempurna.
Berlaku curang ini tidak saja perbuatan
dalam takaran dan timbangan, tetapi juga dalam hal upah mengupah, sewa menyewa
dan sebagainya. Maka janganlah seseorang apabila memakai tenaga buruh.
Memperhatikan benar-benar segala pekerjaan buruh itu, tetapi apabila dia
sendiri yang menjadi buruh, maka dia tidak memperhatikan kepentingan majikannya
yang tetap memperhatikan pekerjaannya.
Ayat
3:Perbuatan
yang curang itu, baik dalam hal takaran, timbangan, penyerobotan hak manusia
dan sebagainya hanyalah dikerjakan oleh orang-orang yang menyangka bahwa dia
tidak bangkit pada hari kiamat dan tidak dihisab amalannya. Sekiranya dia
mempunyai kepercayaan bahwa dia akan menghadapi hari akhirat dimana dia harus
mempertanggungjawabkan segala perbuatannya, tentulah ia tidak berlaku curang
dalam hal takaran timbangan.[4]
2.
QS Asy
Syu'ara : 181-183
أَوْفُوْا الْكَيْلَ
وَلَا تَكُوْ نُوْا مِنَ الْمُخْسِرِيْنَ (١٨١)
وَزِنُوْا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيْمِ (١٨٢) وَلَاتَبْخَسُوْا النَّاسَ
أَشْياَءهم وَلَاتَعْثَوْا فِيْ اْلاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ (١٨٣)
Artinya :
“Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang merugikan, dan timbanglah dengan timbangan yang lurus, Dan
janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela
di muka bumi dengan membuat kerusakan”
a.
Tafsiran QS.
As-Syuara
Ayat 181:
Jika kalian
berjualan, maka takarlah pembelian mereka dengan sempurna, dan janganlah kalian
merugikan hak mereka sehingga kalian memberikannya dalam keadaan kurang.
Kemudian jika kalian membeli, maka ambillah seperti jika kalian menjual.
Ayat 182: Timbanglah dengan timbangan yang
lurus dan adil. Serupa ini disajikan di dalam surat al-muthaffifin, disertai
dengan peringatan
Ayat 183: Janganlah
kalian banyak mengadakan kerusakan di muka bumi, seperti membunuh, memerangi,
menyamun, merampas dan sebagainya. Setelah melarang mereka melakukan semua itu,
selanjutnya syu’aib menakut-nakuti mereka dengan kemakmuran allah yang maha
perkasa, yang telah menciptakan mereka dan orang-orang sebelum mereka,
yang lebih kuat dan lebih sombong dibanding mereka.[5]
3.
QS Al
Israa' : 35
وَأَوْفُوْاالكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا
بِالقِسْطَاسِ المُسْتَقِيْمِقلى ذلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
(الإسراء:35(
Artinya :
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan
timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya”
a.
Asbabun
Nuzul QS. Al-Israa ayat 35
Surat
al isra (berjalan di waktu malam) dinamakan demikian karena tema pokok yang
dibahas adalah kisah isra’ mi’raj.
Surat Al Isra atau dikenal
juga dengan nama Surah Bani Israil termasuk golongan surat Makiyah. Dan dalam
Surah Al Isra pada ayat 35 penulis tidak menemukan asbabun nuzulnya.
b.
Tafsiran QS.
Al-Israa
وَأَوْفُوْاالكَيْلَ
إِذَا كِلْتُمْ
Dan
sempurnakan takaran kepada orang lain, jangan kamu merugikan mereka apabila
kamu menakar untuk hak-hak mereka dari pihakmu, sedang kalau kamu menakar untuk
dirimu sendiri, maka tak apalah kamu mengurangi hakmu dan kamu tidak penuhi
takaran.
وَزِنُوا
بِالقِسْطَاسِ المُسْتَقِيْمِ
Dan
timbanglah oleh kalian dengan timbangan yang adil, tanpa menganiaya sedikitpun
atau berat sebelah. Karena semua manusia membutuhkan pertukaran barang dan
berjual beli. Dan karenanya, allah yang membuat syariat sangat melarang
kecurangan dan pengurangan dalam uasaha menetapkan harta pada pemiliknya.[6]
ذلِكَ خَيْرٌ
Penunaianmu akan janji dan pemenuhanmu
akan takaran kepada orang yang menakar kamu untuknya, dan penimbanganmu yang
adil kepada orang yang kamu menimbang untuknya, adalah lebih baik bagimu di
dunia daripada kamu berkhianat dan mengurangi takaran atau timbangan. Karena,
hal itu termasuk hal yang menyenangkan orang lain dalam muamalatmu dan membuat
mereka suka memuji kamu.
وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
Dan
lebih baik akibatnya, karena hal itu menyebabkan kamu mendapatkan pahala di
akhirat dan selamat dari hukuman yang pedih. Memang banyak orang kafir yang
terkenal teguh memegang amanat dan jauh dari penghianatan, maka datang kepada
mereka dunia, lalu mereka mendapatkan kekayaan dan harta yang banyak. Hal itu
menyebabkan mereka berbahagia di dunia.[7]
v
Tafsiran lain:
Menurut
saya, bahwasanya dalam ketiga surat ini ada ancaman bagi orang yang suka menipu
dan mengambil hak orang lain dalam timbangan dan takaran.
Setiap yang kita tanam -baik kebaikan maupun kejelekan-, pasti kita akan menuai
hasilnya. Oleh karenanya, bersemangatlah dalam menanam kebaikan dan janganlah
pernah mau menanam kejelekan.
Menurut
Syaikh
as-Sa’di rahimahullah, bahwa yang mendorong mereka berani berbuat kecurangan
dalam menakar dan menimbang adalah karena mereka tidak
mengimani Hari Akhir. Jika mereka mengimaninya, dan yakin bahwa mereka akan
berdiri di hadapan Allâh k untuk memperhitungkan perbuatan mereka, yang besar
maupun yang kecil, niscaya akan menahan diri dari praktek curang itu dan
kemudian bertaubat darinya.[8]
C. Hadist yang Menjelaskan tentang Takaran dan Timbangan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ
وَالْمِيزَانَ إِلاَّ أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَؤُنَةِ وَجَوْرِ
السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ
“Dan tidaklah mereka berbuat curang ketika menakar
dan menimbang melainkan mereka akan ditimpa kekeringan, mahalnya biaya
hidup dan kelaliman para penguasa.”[9]
Maksudnya
adalah mereka ditimpa kekeringan dan paceklik, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala menahan hujan dari mereka (Dia tidak
menurunkan hujan untuk mereka), dan jika bumi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan maka
Allah akan mengirimkan musibah kepada mereka berupa serangga, ulat dan hama
penyakit lain yang merusak tanaman. Dan jika tanaman itu berbuah maka buahnya
tidak ada rasa manis dan segar. Betapa banyak petani yang melakukan kecurangan
mendapati buah-buahannya tidak memiliki rasa.
Dan disebutkan di dalamnya hadits
dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
'anhuma, ia berkata:
لما قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة كانوا من أخبث الناس كيلاً
”Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam datang ke Madinah, mereka (penduduk
Madinah) adalah termasuk orang yang paling curang dalam takaran.”
Maksudnya,
penduduk Madinah dan kaum Anshar radhiyallahu
'anhum sebelum datangnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ke Madinah, dahulu mereka sudah
terbiasa dengan bertansaksi dalam jual beli. Dan mereka adalah manusia yang
paling curang dalam takaran, atau termasuk di antara manusia yang paling curang
dalam takaran. Yakni, mereka curang dalam masalah takaran dan timbangan, dan
mereka menguranginya dalam masalah itu. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tiba di Madinah, Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan beberapa ayat al-Qur’an.[10]
Menurut saya kedua hadist tersebut
penjelasannya sama yakni tentang orang yang curang dalam hal takaran dan
timbangan dan tentang ancamannya. Perbedaannya, pada hadist yang pertama
menjelaskan adanya ancaman bagi orang yang curang dalam takaran dan timbangan
di dunia, sedangkan pada hadist yang kedua penjelasannya sama dengan Surah Al
Muthaffifin yakni adanya ancaman bagi orang yang berbuat curang tersebut di
akhirat nantinya.
عَنْ
اَبِيْ سَعِيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قالَ رَسُوْلُ اللهِ صلعم, اَلتَّاجِرُ
الصَّدُوْقُ اْلاَمِيْنُ مَعَ النَّبِيّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ
(رواه الترميذي)
“Dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, katanya: Rasulullah SAW.
Bersabda: ‘Pedagang yang jujur yang dapat dipercaya itu berdama para Nabi dan
oang-orang yang benar serta para syuhada’.” (HR Tirmidzi)[11]
Maksudnya:
Dari hadist tersebut dapat disimpulkan bahwasannya seorang pedagang yang
melakukan transaksi jual beli tidak boleh berlaku curang dalam dagangannya,
tetapi harus jujur dan benar dalam transaksi jual beli.
v Bahaya Mengurangi Takaran dan Timbangan
Kecurangan tersebut jelas merupakan
satu bentuk praktek sariqah (pencurian) terhadap milik orang lain dan tidak mau
bersikap adil dengan sesama[12]
Dengan demikian, bila mengambil milik orang lain melalui takaran dan timbangan
yang curang walaupun sedikit saja berakibat ancaman doa kecelakaan. Dan tentu
ancaman akan lebih besar bagi siapa saja yang merampas harta dan kekayaan orang
lain dalam jumlah yang lebih banyak.
Syaikh ‘Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah
dalam tafsirnya mengatakan, “Jika demikian ancaman bagi orang-orang yang
mengurangi takaran dan timbangan orang lain, maka orang yang mengambil kekayaan
orang lain dengan paksa dan mencurinya, ia lebih pantas terkena ancaman ini
daripada muthaffifîn.[13]
Tentang bahaya kecurangan ini terhadap
masyarakat, Syaikh ‘Athiyyah Sâlim rahimahullah mengatakan, “Diawalinya
pembukaan surat ini dengan doa kecelakaan bagi para pelaku tindakan curang
dalam takaran dan timbangan itu menandakan betapa bahayanya perilaku buruk ini.
Dan memang betul, hal itu merupakan perbuatan berbahaya. Karena timbangan dan
takaran menjadi tumpuan roda perekonomian dunia dan asas dalam transaksi. Jika
ada kecurangan di dalamnya, maka akan menimbulkan khalal (kekisruhan) dalam
perekonomian, dan pada gilirannya akan mengakibatkan ikhtilâl (kegoncangan)
hubungan transaksi. Ini salah satu bentuk kerusakan yang besar”.
v Perintah Menyempurnakan Takaran dan Timbangan
Perintah allah untuk menyempurnakan
takaran dan timbangan dengan adil berlaku bagi diri sendiri dan bagi orang
lain.
Konsep persaudaraan dan perlakuan
yang sama bagi setiap individu dalam masyarakat dan di hadapan hukum harus
diimbangi dengan keadilan. Tanpa pengimbangan tersebut, keadilan sosial
kehilangan makna. Dengan keadilan ekonomi, setiap individu akan mendapatkan
haknya sesuai dengan kontribusi masing msing kepada masyarakat. Setiap
individupun harus terbebaskan dari eksploitasi individu lainnya. Islam dengan
tegas melarang seorang muslim merugikan orang lain.[14]
Islam dengan kesempurnaan, kemuliaan
dan keluhuran ajarannya, memerintahkan umatnya untuk menjalin muamalah dengan
sesama atas dasar keadilan dan keridhaan.
Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan,
“bahwasannya, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan penyempurnaan (isi) takaran dan
timbangan dengan adil. Dan menyatakan bahwa siapa saja yang tanpa kesengajaan
terjadi kekurangan pada takaran dan timbangannya, tidak mengapa karena tidak
disengaja”. Dan bahwasannya juga, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa
memenuhi takaran dan timbangan lebih utama dan lebih baik manfaat.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Takaran adalah
alat yang digunakan untuk menakar. Dalam aktifitas bisnis, takaran (al-kail)
biasanya dipakai untuk mengukur satuan dasar ukuran isi barang cair, makanan
dan berbagai keperluan lainnya. Sedangkan timbangan (al-wazn) dipakai untuk
mengukur satuan berat. Takaran dan timbangan adalah dua macam alat ukur yang
diberikan perhatian untuk benar-benar dipergunakan secara tepat dan benar dalam
perspektif ekonomi syariah.
Sejalan dengan semangat ekonomi yang menekan akan terwujudnya keadilan dan
kejujujuran, perintah untuk menyempurnakan takaran dan timbangan berulang kali
ditemukan dalam al-Quran. Dalam QS Al-Isra’ 17: 35, Allah Swt. Sebagai pemilik
mutlak alam semesta memerintahkan, “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu
menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”. Adanya kecurangan dalam menakar dan
menimbang terjadi karena adanya ketidakjujuran, yang didorong oleh keinginan
mendapat keuntungan yang lebih besar tanpa peduli dengan kerugian
orang lain.
DAFTAR
PUSTAKA
- Ash Shiddieqy, Hasbi. 1937. Tafsir Alquran AnNur Juz 28 s/d 30. Bulan Bintang: Jakarta.
- HR. Ibnu Majah no. 4019.
- https://www.alsofwah.or.id/cetakhadits.php?id=278.
- Madani. 2011. Ayat-ayat dan Hadist Ekonomi Syariah. (Jakarta: Rajawali Pers).
- Mustafa Al Maragi. Ahmad.1993. Terjemah tafsir al-maraghi 15. TOHA PUTRA: SEMARANG.
- Mustafa Al Maragi. Ahmad. 1993. Terjemah Tafsir Al-Maraghi 19. TOHA PUTRA: SEMARANG.
- Taisîrul Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân.
- Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
§ Subhi Asep dan Taufik Ahmad. 2004. 101 Dosa-dosa Besar.
Jakarta: Qultum Media.
[1]
Asep Subhi Dan Ahmad Taufik. 2004. 101 Dosa-dosa Besar. Jakarta: Qultum
Media. Hlm 52-53
[2]
Hasbi ash shiddieqy. 1937. Tafsir Alquran AnNur Juz 28 s/d 30. Bulan
Bintang: Jakarta. hal 56
[3] Madani. 2011. Ayat-ayat dan
Hadist Ekonomi Syariah. (Jakarta: Rajawali Pers). Hal 90
[4]
Ibid hal 57
[5]
Ahmad mustafa al maragi .1993 .Terjemah Tafsir Al-Maraghi 19. TOHA
PUTRA: SEMARANG hlm 184
[6]
Ahmad mustafa al maragi. 1993 .Terjemah Tafsir Al-Maraghi 15. TOHA
PUTRA: SEMARANG hlm 82
[7]
Ibid hlm 83
[8]
Taisîrul Karîmir Rahmân fî Tafsîri
Kalâmil Mannân hlm. 1001
[9] HR. Ibnu Majah no. 4019. Syaikh Al Albani mengatkan
bahwa hadits ini hasan
[10] https://www.alsofwah.or.id/cetakhadits.php?id=278.
Di akses pada tanggal 20 Mei 2016
[11]
Madani. Ibid hlm 177-178
[12]
Taisîrul Karîmir Rahmân fî Tafsîri
Kalâmil Mannân hlm.999
[13]
Taisîrul Karîmir Rahmân fî Tafsîri
Kalâmil Mannân hlm.1001
[14]
Muhammad Syafi’i Antonio. 2001. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. jakarta:
Gema Insani Press. hlm 15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar